Masa Lalu kelabu

Diposting oleh Fatim Selasa, 31 Juli 2012


Katanya jaman baru saja berubah, arus moderen telah menggerus susila penghuni dunia ini, namun entah kapan mulai berubah sebab setiap orang dari waktu ke waktu seingatku selalu mengatakan demikian “wah, jaman telah berubah!!”. Dahulu kala waktu aku masih kecil berlumur tanah bersimbuh lumpur di pematang sawah milik kakekdan neneku yang hanya sepetak asik menguping obrolan mereka yang bercerita tentang buyut moyangku yang menceritakan keadaan mereka ketika masih kecil, karena melihatku bermain-main seolah tanpa beban dan tetap riang mengingatkannya.
Dalam suka cita tiba-tiba mereka memelankan suara bicaranya tapi masih tetap bisa kudengar dan bercerita bahwa tetangga kakek dari buyut moyangku marah semarah marahnya ketika anak perempuanya hamil diluar nikah. Menghajar laki-laki yang menghamilinya lalu menikahkannya pada keesokan harinya, ironis memang.

Cahaya senja kemerahan di upuk barat. “Ayo, kita pulang sudah petang”, suara kakeku di sisi parit seraya membersihkan cangkul dan sesekali mengisap tembakau yang dibungkus daun aren yang dikeringkan sambil membuka tutup matanya yang sudah semakin rabun mengibaskan asap yang menyusuri bola matanya dan membuatnya seperti merem melak. Nenekku menyauti dan memasangkan baju lusuh pada tubuhku yang kurus agak kering tapi meski kerontang.
“Grib, sudah jangan kau teruskan”, suara memohon kakak sepupuku menggelitik telinga kiriku. Sama sekali tidak menyurutkanku meremas birahi mengoyak payudaranya menelusup terus kedalam jantungnya yang berdegup cepat menghembuskan suara mendesah yang semakin menggusur nafsu 

kelaki-lakian yang sangat normal ini. “Grib, aku masih sekolah gak mungkin aku mewujudkan cita-citaku untuk menjadi guru jika aku kau hamili”, seraya menutupi tubuhku yang belum sempat membuka baju dengan samping batik milik ibunya bekas mengais adik bungsunya yang sudah kelas tiga SD dan baru saja ditinggal ibunya meninggal akibat sakit yang menggerogoti sejak lama, sedangkan bapaknya yang berpangkat Kapten di salahsatu kesatuan ABRI hidup bahagia bersama istri mudanya di Bandung, dengan meninggalkan empat orang anaknya di sebuah desa kecil di kampungnya tempat dibesarkannya dulu.

Hampir tak bisa bicara untuk menjawab apa katanya, aku tetap menggerayangi tubuh indahnya dengan jilatan-jilatan mata yang membelalak menapaki sekujur tubuhnya yang harum sesekali menggigit kecil mulut manisnya yang tak berwarna di kegelapan. Rupanya perempuan itu hampir tidak bisa menolak perasaanya dan membalas dengan mempermainkan dan mengelus-elus bagian tubuhku dengan meremas-remas perasaanku yang sedang gamang.
Sekali lagi dia mengatakan padaku, “Grib, bagaimana kalau aku hamil akankah kau bertanggungjawab untuk masa depanku, kehidupanku, adik-adiku, dan semuanya?”. “Astaga!”. “Kenapa?”, sambung dia. 

Aku terhuyung lesu, kaget, agak-agak kesal, sekian jam aku memberdayakan dia sampai nyaris terpedaya tiba-tiba kesadaranku terusik suara desah di kamar sebelah tempat kakak perempuannya yang tidur ditemani kawan laki-laki yang juga tetanggaku dan telah sebulan menjadi kekasihnya. Aku tersadar tapi tak mampu berkata-kata sambil mengecup keningnya lalu kupeluk erat dia yang seakan enggan mengenakan lagi pakainnya yang sudah tertanggalkan dan hanya ditutupi samping panjang yang tak bisa menutupi seluruh tubuhnya.

“Grib, kenapa tidak kau lanjutkan?”. Ah dasar perempuan tadi tiada hentinya melarangku melanjutkan malam. “Tidak”, jawabku agak ragu. “Kenapa, kamu kehilangan selera atau aku tak menarik lagi bagimu?” lanjutnya menantangi. “Bukan begitu, aku terlalu sayang sama kamu”, jawabku agak ragu, menutupi hasratku yang sangat menggebu.

“Kenakan bajumu, De!”. Dia terdiam dan memalingkan mukanya seraya mengenakan pakaian dalamnya. “Aku, sangat mencintaimu”, suaraku agak parau berusaha merayunya. “ya”, jawabnya singkat. Sekali lagi kukecup keningnya, air mata membanjiri pipinya terasa asin dimulut ketika kuciumi pipinya setelah mengecup keningnya. Aku terus berceloteh panjang lebar tentang kejadian yang nyaris membunuh masa depan dia dan kau waktu itu, tapi dia terdiam seribu bahasa tubuhnya seolah kaku tak sekalipun membalas ribuan ciumanku yang kuhujamkan pada pipi dan bibirnya yang semakin hambar tanpa balas.

Adzan dari masjid agung desa memecah pagi buta berkumandang di kejauhan. Waktu menunjukan pukul 4.30 wib, aku berusaha melepaskan diri dari dekapannya yang tak henti-hentinya terisak pelan dengan cucuran air mata terus mengalir membanjiri ketiak kiriku yang tertindih kepalanya.
“Aku pulang sayang, besok kita teruskan cerita kita”. Tangisnya semakin jadi meski tak berhasil membangunkan kakaknya di kamar sebelah yang sejak terdengar suara desah berganti dengkuran tak terdengar lagi suara kesadaran. Lalu kutinggalkan rumahnya, semakin jauh semakin agak berlari tak kutolehkan mukaku kearahnya lagi.***

Tiga tahun berlalu dua tahun selepas SMA tersiar kabar dia melahirkan anak laki-laki hasil hubungan gelap dengan boss tempat dimana dia bekerja sebagai buruh pabrik. Tapi tak membuatku terlalu kaget dengan keadaanya yang tak berdaya dalam ketiadaan, kepapaan, sedang kebutuhan begitu memaksanya untuk berbuat demi mengais kasih sayang yang pernah terbuang dimasa sangat membutuhkannya dulu. Dosakah yang dia lakukan? Dosakah aku karena tak bisa membagi cinta sejati dengannya? Lalu siapa yang salah?

Kini dia telah menjadi seorang guru honorer di sebuah Sekolah Dasar di sudut sebuah kota kecil, hidup bersama seorang laki-laki yang empat tahun lebih muda sebagai ayah tiri anak laki-lakinya, mencoba menanggalkan kisah masa lalunya yang begitu mengenaskan. Semoga kamu bisa saudariku

Posting Komentar